Bocah-Bocah Palestina
Oleh : Hamasah Putri
Bocah-bocah kecil itu
Berlari, melompat, dan menyerbu
Lihat kawan..
Beradu dengan bom dan peluru
Hanya dengan batu-batu
Bocah-bocah kecil itu
Menerjang tiada gentar
Memburu tiada ragu
Ia bukan di negeri khayalan
Ia ada di sana, Palestina
Tak ada paksaan untuk bergerak
Tak ada pula hadiah pengganti luka
Ia hanya inginkan surga
Dan bumi Palestina merdeka
Jangan tanya kapan ia akan berhenti
Jangan tunggu kapan ia akan mengeluh
Karna ia akan selalu kembali
Tuk bebaskan tanah suci
Karna akan selalu terdengar
Lemparan batu dan teriakan Allahu Akbar
Siapa bilang ia kalah?
Bahkan lawan pun ketakutan
Siapa bilang ia salah?
Bahkan langitpun memujinya
Akan selalu ada Allah bersamanya
Menemani hari-harinya, desah nafasnya, di relung hatinya...
Jumat, 01 April 2011
Puisi Untuk Palestina part. 1
Tuhan Ajari Aku Menabur Pasir
Oleh : Nafiah Alma’rab
Aku adalah sebaris luka
tertinggal di dinding Al-Aqsa
Mungkin kau lupa, darah ini puisi yang terselip
Kubagi-bagikan, agar buana tak lagi bungkam
Ini pelataran yang ku jaga sepanjang subuh
Saat kau jemput ayah,
Dan kau hancurkan sebatang kursi roda
Pagi itu menjadi kebiadabanmu
Aku tak luluh
Hidupku peluru
Matiku kembang syuhada
Tuhan, ajari aku menabur pasir
Di wajah-wajah binatang Gaza
Biar tertebus duka ini
Hari ini ingin ku tulis berita,
tentang tujuh luka menganga
mengikis sebilah lebam di mata
entah kapan Palestina merdeka
Inilah kerinduan
memuncak pada langit yang memayungi
Bertahun mereka menumpah hujan di tanah kita
Membanjiri Al-Aqsaku dengan luka
Aku bahkan tersedu
Ketika Tuhan mengutus pasukan putih
Mereka tergagap gila, mengusap-usap mata
Lalu pasukan hitam kemana
Oh, mereka duduk berlinang air mata,
Tuhan tak izinkan kami syuhada
Seorang serdadu mendatangiku,
Menginjak kakiku, mencengkram kerahku
‘katakan siapa pasukan putih itu!’
‘aku tak tau’
‘Bohong’
‘Aku bukan pembohong’
Ia pergi dengan luka di pipi
Bermandi malu namun tetap tak tahu malu
Oleh : Nafiah Alma’rab
Aku adalah sebaris luka
tertinggal di dinding Al-Aqsa
Mungkin kau lupa, darah ini puisi yang terselip
Kubagi-bagikan, agar buana tak lagi bungkam
Ini pelataran yang ku jaga sepanjang subuh
Saat kau jemput ayah,
Dan kau hancurkan sebatang kursi roda
Pagi itu menjadi kebiadabanmu
Aku tak luluh
Hidupku peluru
Matiku kembang syuhada
Tuhan, ajari aku menabur pasir
Di wajah-wajah binatang Gaza
Biar tertebus duka ini
Hari ini ingin ku tulis berita,
tentang tujuh luka menganga
mengikis sebilah lebam di mata
entah kapan Palestina merdeka
Inilah kerinduan
memuncak pada langit yang memayungi
Bertahun mereka menumpah hujan di tanah kita
Membanjiri Al-Aqsaku dengan luka
Aku bahkan tersedu
Ketika Tuhan mengutus pasukan putih
Mereka tergagap gila, mengusap-usap mata
Lalu pasukan hitam kemana
Oh, mereka duduk berlinang air mata,
Tuhan tak izinkan kami syuhada
Seorang serdadu mendatangiku,
Menginjak kakiku, mencengkram kerahku
‘katakan siapa pasukan putih itu!’
‘aku tak tau’
‘Bohong’
‘Aku bukan pembohong’
Ia pergi dengan luka di pipi
Bermandi malu namun tetap tak tahu malu
Kamis, 24 Maret 2011
Cendikiawan Atheis, Ustadz, dan Tukang Perahu
Seorang Cendekiawan atheis menumpang perahu ketika hendak menyebrang ke pulau. Di dekatnya duduk seorang ustadz yang senang ibadah. Ia bertanya pada tukang perahu seraya melirik ke ahli ibadah tersebut. “Sobat, pernahkan Anda mempelajari Matematika?”
“Tidak” ujar tukang perahu tersebut.
“Bagaimana dengan Anda pak ustadz?” Tanyanya juga. Pak ustadz tersenyum. “Sedikit,” jawabnya.
“Sayang sekali, berarti Anda berdua telah kehilangan seperempat dari kehidupan Anda.” Ucapnya menghakimi, “Atau, barangkali Anda berdua pernah mempelajari ilmu filsafat?” tanyanya lagi.
“Sedikit.” Ucap ustadz tersenyum. Profesor itu menaikan kedua alisnya meminta jawaban tukang perahu.
“Itu juga tidak.” Jawab tukang perahu itu polos.
“Dua kali sayang, berarti Anda berdua telah kehilangan lagi seperempat dari kehidupan Anda.” Ucapnya membanggakan diri. “Bagaimana dengan sejarah?” lanjutnya.
“Sedikit.” Ujar ustadz lagi. Cendikiawan itu menoleh ke tukang perahu.
“Oh, itu juga tidak.”
“Aduh-aduh…..!” Sesalnya seraya menggeleng-gelengkankan kepala.
Mendadak awan gelap, angin bertiup kencang dan terjadi badai. Laut yang tadinya tenang menjadi bergelombang, perahu yang ditumpangi merekapun oleng. Cendekiawan itu pucat ketakutan.
“Bagaimana nih pak ustadz kok tenang-tenang saja. Siapa yang akan menolong kita?” teriaknya gelisah. Sambil tersenyum ustadz itu bertanya. “Apakah anda pernah mempelajari akan adanya Tuhan?”
“Tidak.”
“Atau Anda pernah belajar berenang?” susul si tukang perahu.
“Tidak” jawab cendikiawan itu gemetaran.
“Sayang sekali, Anda tidak kenal Tuhan dan juga tidak bisa berenang berarti anda akan kehilangan seluruh kehidupan Anda.
Sumber: Inbox di Facebook dari Nafarin Pratama
Langganan:
Postingan (Atom)